Tampilkan Wayang Sekelik, Disdikbud Sabet Juara II di Lampung Fair

Radarlamteng.com, Gunungsugih – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Lampung Tengah (Lamteng) berhasil menjadi juara II Festival Seni Budaya pada event Lampung Fair 2018 di PKOR Way Halim, Bandar Lampung, Oktober lalu.

Plt. Kadisdikbud Lamteng Syarief Kusen melalui Kabid Kebudayaan Linggar Nunik Kiswari menjelaskan, dalam festival tersebut, pihaknya menampilkan kolaborasi seni pertunjukan yang disebut Wayang Sekelik.

“Alhamdulillah. Prestasi ini dihasilkan berkat kerja sama seluruh tim yang didukung oleh berbagai pihak. Diantaranya Bupati Lampung Tengah (Loekman Djoyosoemarto),” ujar Linggar.

Lebih jauh pihaknya membeberkan sinopsis seni pertunjukan yang ditampilkannya tersebut. Wayang Sekelik merupakan cerita sejarah berdirinya daerah Gunungsugih yang kini merupakan Ibukota Kabupaten Lamteng.

Awal kisah, pada saat itu sekitar abad 14 datanglah dua orang tokoh yang gagah berani bernama Patik Guling Sekaro dan Marskal Sigalang-galang. Keduanya terkenal sangat sakti dan tak terkalahkan. Karena kesaktiannya siapapun yang mendengar namanya pasti tergetar.

Lalu, mereka datang menyusuri Bukit Barisan menuju wilayah pinggiran sungai Kali Tipo dan Sungai Kali Punggur yang bermuara di Way Seputih membentuk sebuah perkampungan Pulau Apus. Perkampungan itu terkenal sangat aman tentram, berbagai tanaman tumbuh subur ikan pun berlimpah ruah.

Di saat yang bersamaan banyak terjadi kekacauan di wilayah Swarna Dwipa yang disebabkan oleh perompak (bajou). Kedatangan para perompak tersebut membuat masyarakat gelisah, mereka merampok, menjarah harta benda. Perompak itu dipimpin oleh Si Galijadi.

Setelah merampok mereka berpesta pora di Libo. Sehingga kedatangan perompak tersebut membuat resah seorang saudagar kaya di Surabaya bernama Minak Sengaji Mantanah. Karena resah atas kedatangan para perompak maka Minak Sengaji Mantanah mengutus tiga saudaranya yang Bernama Mapah Ghayo, Sindhu Gayo dan Juray ghayo dan hulubalangnya Kelasi untuk mengamankan harta bendanya ke wilayah yang aman di Pulau Apus.

Maka berangkatlah ketiga saudara Minak Sengaji Mantanah dan hulubalangnya menuju Pulau Apus. Disimpanlah Harta benda tersebut di ulek bunian Pulau Apus. Dan dijaga oleh Kelasi.

Di saat perjalan Pulang kembali ke Surobayo ketiga saudara Minak Sengaji Mantanah curiga dan tidak percaya akan niat si Kelasi, maka merekapun kembali ke Ulek Bunian dan menumbalkan Kelasi dengan cara memotong tubuh Kelasi menjadi dua. Tubuh bagian atas terpental didaratan menjadi harimau putih, dan yang terlempar di sungai menjadi Buaya.

Ketika para perompak akan menyerang perkampungan Surobayo dihadang pasukan Patik Guling Sekaro dengan Marskal Singgalang – galang. Akhirnya para perompak pun dapat dikalahkan. Akhirnya wilayah itu aman. Setelah kedaan menjadi aman Minak Sengaji Mantanah mengurus kembali saudaranya untuk mengambil harta benda yang di simpan di Pulau Apus.

Bertapalah Mapah Ghayo dan kedua saudaranya untuk mengambil kembali harta tersebut. Namun saat bertapa terdengarlah suara ghaib bahwa harta yang ada di ulek bunian ini sudah menjadi kekayaan bumi Pulau Apus. Siapapun tidak berhak untuk mengambilnya.

Maka mereka kembali ke Surobayo menghadap Minak Sengaji Mantanah. Di dalam perjalanan mereka bertemu dengan Patik Guling Sekaro dengan Marskal Sigalang-galang, dan menyampaikan maksud mereka datang ke Pulau Apus.

Setelah diceritakan apa yang terjadi maka merekapun pamit kembali ke Libo. Mulai saat itulah harta benda yang terkubur di ulek bunian menjadi harta kekayaan Pulau Apus (Kesugihan Pulau Apus).

Maka Marskal Sigalang- galang menamakan daerah Pulau Apus yang memiliki kekayaan tersebut dengan nama Gunung Sugih, dan selanjutnya Maskal Sigalang-galang meneruskan perjalanan kearah matahari terbit. Daerah tersebut oleh patik Guling Sekaro dinamakan Sukadana (kini Ibukota Kabupaten Lampung Timur).

Seiring perjalan waktu Gunung Sugih terbentuklah peradaban masyarakat adat istiadat yang di namakan Ngebatten Anek dengan mengadakan Begawi Agung.

Linggar menambahkan, dalam menampilkan pertunjukan itu, disutradarai sendiri olehnya dan dibantu seniman asal Lamteng, Supriyanto, S.Sn. MM. Lalu melibatkan lima pemain wayang, 43 penari dan tujuh orang pemusik.

Kemudian, tim artistiknya terdiri narasumber yang diisi oleh; A. Junaidi, Muhtaridi PN, Zulkarnaen, dan Moh. Harun. Penata tari; Ayu Nurjanah, Galuh Jota, dan Alfian Ramadan. Selanjutnya, sebagai narator; Linggar Nunik Kiswari, Dani Alfino, Kasril, Andanan dan Supriyanto. (rls/rid)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *